Terinfeksi HIV Belum Tentu Terkena AIDS

Johan Iswadi-Jambi

MENDENGAR kata HIV/AIDS tentu yang terbayang oleh kita adalah penyakit ganas yang menular dan belum ada obat yang bisa menyembuhkan. Meski penularannya tidak segampang penularan virus influenza, orang-orang umumnya akan sulit menerima penderita penyakit ini untuk hidup normal dengan orang-orang di sekitarnya.

Menurut dr HM Syafei MKes, seseorang yang terinfeksi HIV tidak langsung menampakkan gejalanya, sehingga orang yang terinfeksi bisa hidup normal dalam jangka waktu lima sampai sepuluh tahun untuk sampai pada stadium munculnya gejala klinis. “Hal ini merupakan salah satu penyebab mengapa masih banyak kasus yang belum terdeteksi. Penderita baru memeriksakan diri bila sudah timbul gejala-gejala klinis,” ujarnya di Rumah Sakit Kota kemarin.

Kematian yang disebabkan infeksi HIV kebanyakan bukan karena infeksi virus, melainkan karena turunnya kekebalan tubuh. Virus itu menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga manusia mudah terkena penyakit lain atau dikenal dengan infeksi oportunistik. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom klinis atau kumpulan gejala-gejala penyakit yang disebabkan human immunodeficiency virus.

Syafei menjelaskan, memang orang yang terinfeksi HIV belum tentu menjadi penderita AIDS, tergantung tingkat imunitas atau kekebalan tubuh orang tersebut yang dapat dilihat melalui komponen CD4. “Jika terjadi penurunan CD4 sampai kurang dari 200, orang akan makin lemah daya tahan tubuhnya dan jatuh pada kondisi AIDS,” tukasnya.

Menurutnya, dari data yang ada, total kematian yang disebabkan HIV-AIDS sejak 1987 hingga sekarang berjumlah 2.486. Kasus-kasus HIV-AIDS sudah ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Kondisi geografis Indonesia serta kemajuan industri pariwisata dan meningkatnya praktik seks komersial terselubung, makin mempermudah penularan penyakit itu.

Yang jadi masalah, selama ini fokus penanggulangan HIV-AIDS hanya penderita dan PSK. Namun pada bayi yang tertular dari ibunya belum banyak mendapat perhatian. Padahal muncul kecenderungan terjadi peningkatan jumlah wanita, terutama ibu rumah tangga yang tertular HIV-AIDS pada usia reproduksi mereka. “Jika wanita ini hamil, berpotensi menulari anak yang dikandung,” kata Syafei.

Menurut data epidemiologi AIDS nasional, lebih dari 24 ribu wanita usia subur di Indonesia tertular HIV dan lebih dari 9.000 wanita dengan HIV dalam kondisi hamil tiap tahun.

Kondisi itu amat memprihatinkan dan menuntut kewaspadaan karena anak adalah generasi penerus bangsa sehingga status kesehatannya menentukan perannya di masa depan. Upaya yang harus dilakukan adalah memutus rantai penularan HIV-AIDS.

Transmisi atau penularan dari ibu hamil dengan HIV (+) ke anaknya dapat melalui tiga cara, yaitu selama kehamilan (5%-10%), selama persalinan (10%-20%), dan melalui air susu ibu (ASI) (10%-15%).

Berdasar pada hal tersebut, ada tiga upaya yang dapat dilakukan, yaitu pemberian obat antiretroviralseksio caesaria, serta pemberian susu formula pada bayi. (ARV) selama kehamilan dan persalinan, persalinan dengan

Upaya tersebut merupakan bagian pencegahan penularan HIV-AIDS dari ibu ke anak atau dikenal dengan istilah prevention mother to child transmission (PMTCT). Pencegahan dilakukan secara komprehensif terdiri atas empat cara, yaitu pencegahan pada usia reproduktif, pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV (+), pencegahan penularan dari ibu dengan (+) HIV yang hamil ke bayi yang dikandung, serta memberi dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu HIV (+) beserta bayi dan keluarganya.(*)

0 komentar:

Posting Komentar